Untuk dapat menjadi wanita yang terbebaskan dari poin-poin yang salah, Al-Qur’an mengajarkan kepada manusia melalui empat kerangka: Pertama, kemampuan spiritualistik yang mendudukkan manusia ke dalam pola pengabdian; di sini yang dilihat adalah tingkat penghambaan yang dapat dilakukan berdasarkan kepada kondisi yang dimiliki. Kedua, kedudukan dan peranan sosial yang dapat dilakukan; terkait kemampuan dalam mewujudkan atau mengupayakan struktur dan tantangan yang bersifat kemasyarakatan. Ketiga, kreativitas dan aktivitas dalam dimensi berkarakter khas; dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan adanya kesamaan tujuan. Keempat, perbedaan yang terjadi adalah hanya sebuah cara untuk memberikan suatu kesempatan yang seluas-luasnya; sebab pada hakikatnya, di dunia ini tidak ada yang memiliki kesamaan mutlak, yang ada hanyalah kemiripan belaka.
Dari keempat hal ini, paling tidak, diharapkan seluruh ummat manusia tidak memberikan pemahaman dan penilaian yang salah terhadap Islam: yakni dengan memposisikan kaum wanita sebagai mahluk lemah dan berada pada posisi kelas dua. Bahkan sebaliknya, Islam telah memuliakan para wanita.
Kehadiran wanita mempunyai peran dan pengaruh tersendiri di dalam kehidupan dunia. Akibat dari struktur jasmaniah, pola perilaku yang dimiliki dan kemampuan memperoleh segala sesuatu, mereka hadir memberi suasana tersendiri dan memiliki kelebihan tersendiri. Karenanya kemudian Islam memberikan posisi kepada muslimah, bahwa dirinya adalah perhiasan dunia (mata'un dunya). Terkait dengan wanita sebagai perhiasaan dunia, hendaknya memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut :
Melalui posisi wanita sebagai perhiasan dunia, maka timbullah konsekuensi logis bahwa hal tersebut merupakan sebuah tantangan dalam kehidupan. Betapa tidak, selaku perhiasan dunia, muslimah dituntut untuk membuktikan sekaligus untuk mempertahankannya. Sehingga, kehidupan dunia sejalan dengan kehendak Allah SWT, dan sesuai dengan karakteristik suci yang dimiliki pribadi-pribadi taat kepada-Nya semata. Muslimah diminta untuk benar-benar mewujudkan, bagaimana bentuk dan penjabaran dari kehidupan yang harus dijalani. Baik yang bersifat langsung ataupun tidak langsung, dalam pelbagai aspek kehidupan. Kadang-kadang hal tersebut, membuat mereka merasa sangat berat dan ingin meninggalkannya. Padahal untuk dapat melaksanakan hal tersebut, Allah SWT telah menyediakan beragam fasilitas dan cara, agar dapat dengan mudah dan bermanfaat dalam mencapainya.
Tidaklah ringan memikul suatu kehormatan. Apalagi dikaitkan dengan dimensi keagamaan, ketuhanan, dan kemuliaan hidup. Demikianlah yang dialami oleh muslimah dalam kedudukannya selaku perhiasan dunia. Sementara di sisi lain, selain adanya pengaruh eksternal yang demikian deras menggoda, ternyata dorongan-dorongan yang bersifat internal sering muncul. Akibatnya, muslimah sering berada di persimpangan jalan. Belum lagi jumlah wanita yang tidak ingin diberikan penghormatan selaku perhiasan dunia, sangatlah banyak dan terlihat enak kehidupannya dari pada muslimah yang senantiasa berupaya untuk mewujudkannya sebutan perhiasan dunia.
Dalam hal ini, paling tidak ada beberapa aspek yang dapat dijadikan penyebab. Pertama, antara wanita dengan keindahan kehidupan dunia tidak dapat dipisahkan; sementara kehidupan dunia adalah permainan, kesenangan yang memperdayakan, dan senda gurau belaka. Kedua, manusia mudah dipengaruhi oleh posisi mayoritas, sehingga dalam kehidupan nyata yang tengah dialami, ukuran jumlah akan membuatnya berpaling dari hakikat dan tergeser ke dalam hal-hal yang bersifat sementara dan menyesatkan.
Taqwa adalah sebuah nilai puncak bagi suatu tujuan, ukuran, dan kerangka kehidupan manusia di dalam Islam. Dengan demikian maka akan membuat sangat sedikit orang yang dapat mencapainya. Inilah pula yang dijadikan indikasi, bagi setiap muslimah di dalam kedudukannya selaku perhiasan dunia.
Ketaqwaan ini merupakan sekumpulan sikap dan perilaku yang terbentuk secara holistik, juga didasarkan kepada nilai dan tingkat keimanan dengan secara bersinambung diuji berulang kali, bahkan dapat dijadikan sebagai tolok ukur mengenai kualitas kehidupan yang diraihnya. Maka melalui definisi taqwa, yaitu menjalankan semua perintah-Nya, akan tampak jelas di dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Karenanya, setiap muslimah akan mudah dilacak dan diamati, sejauh mana ia telah berfungsi selaku perhiasan dunia
Sangat banyak dan sulit untuk dapat disebutkan secara persis, berapa dan bagaimana sumbangan yang dapat diberikan oleh muslimah bagi kehidupan. Tidaklah belebihan andaikata harus disebutkan, bahwa tidak ada artinya kehidupan ini tanpa kehadiran para muslimah. Secara umum bentuk-bentuk sumbangan yang dapat diberikan oleh kaum muslimah, terbagi menjadi paling tidak 4 (empat) klasifikasi, yaitu:
Haruslah dapat dibedakan antara suami dengan lelaki. Lelaki masih bersifat umum dan dibatasi oleh sejumkah ketentuan antara halal-haram. Sedangkan suami adalah sosok manusia yang telah memiliki kemampuan melaksanakan amanah dari Allah SWT untuk dapat menjadi figur yang dapat mengokohkan eksistensi kelembagaan rumah tangga. Dikarenakan posisi semacam itu, suami akan berhadapan dengan sejumlah tanggung jawab dan konsekuensi. Betapa besar dan berat resiko yang akan dihadapinya kelak. Untuk itu tidak pelak lagi, muslim membutuhkan bantuan yang paling tidak dapat menyelami lautan permasalahan yang didihadapinya. Sosok yang dapat berbuat seperti itu, hanya akan dapat ditemukan pada figur seorang muslimah yang menjadi istrinya. Ialah yang begitu sangat dekat dan hampir senantiasa bersama-sama. Belum lagi ia adalah pribadi yang dapat mengetahui tentang hal ihwal suaminya.
Dengan demikian, keberadaan muslimah dan perhatian yang diberikan kepada suaminya, merupakan sejumlah sumbangan yang secara minimal membuat suami merasa tidak sendirian mengahadapi sejumlah tanggung jawab dan konsekuensi sebagai kepala keluarga. Belum lagi andaikata muslimah sebagai istrinya, turut mengambil alih sebagian dari apa yang diterima suaminya sebagai tugas kehidupan. Sehingga sangat wajar andaikata kemudian sering disebutkan, bahwa muslimah sebagai seorang istri adalah sosok yang berdiri di belakang layar terkait kemampuan dan keberhasilan suami, dalam menanggulangi segenap tugas yang dipikul pada pundaknya.
Lebih jauh, sumbangan-sumbangan yang dapat diberikan muslimah kepada suaminya adalah sebagai berikut : Pertama, membantu mewujudkan keutuhan diri selaku seorang lelaki dan kepala keluarga. Kedua, menemukan pemuasan terhadap pelbagai hasrat dan kebutuhan, yang harus dipenuhi sebagai manusia karena berjenis kelamin lelaki. Ketiga, memperoleh jaminan tentang kelangsungan hidup dan masa depan melalui keturunan yang lahir. Keempat, menunjang dalam menduduki posisi-posisi tertentu di masysrakat dan atau pemerintahan.
Tidak dapat disangkal lagi oleh siapa pun, andaikata dari pernikahan dan kehidupan berumahtangga, lahir anak-anak sebagai keturunan yang syah dan suci. Maka sosok yang yang paling awal merasakan, merawat, membesarkan, mendidik, dan berkorban adalah ibu atau istri dari ayah kandung bagi anak-anak tersebut.
Kehadiran anak-anak dan keberadaan mereka di antara sepasang suami-istri dan rumahtangganya, demikian berarti dan tak ternilai harganya. Mereka bagaikan intan atau mutiara, yang senantiasa disimpan secara ektra hati-hati dan senantiasa dilindungi, diawasi, dirawat dan menjadi kebanggaan yang tiada habis-habisnya. Tentunya menumbuhkan sejumlah konsekuensi dan tanggung jawab. Untuk itu, anak-anak harus memperoleh perhatian dan kasih sayang, supaya mereka terus tumbuh secara baik sejalan dengan harapan orang tuanya, sesuai dengan kedudukan dan peranan yang diterima dalam keluarganya.
Dalam melaksanakan berbagai tugas dalam merawat anak-anak, muslimah kembali tampil secara utuh. Betapa besar andil yang diberikan dalam perawatan anak, yang sebagian di antaranya adalah: Pertama, mengandung dengan masa yang panjang, beban yang kian memberat, pelbagai kesulitan yang ditemui, dan berada pada saat-saat kritis dalam kehidupan. Kedua, menyusui, merawat, mengasuh, mendidik pada waktu yang sangat lama. Ketiga, melepaskan anak-anak untuk bersama-sama suami atau istrinya.
Sebuah keluarga inti terdiri atas seorang suami, istri, dan anak. Dalam hidup berumah tangga, tentu terdapat sejumlah tugas yang harus dilaksanakan oleh anggota yang hidup dalam keluarga tersebut. Untuk itu, muslimah selaku seorang istri dituntut untuk banyak berada di dalam rumah, dikarenakan beberapa pertimbangan: Pertama, kehidupan rumah tangga yang eksistensinya sangat tampak dalam rumah tinggal, paling tidak membuat ada seseorang yang banyak berada di dalamnya, sebagai petunjuk yang menggambarkan keberadaan rumah tangga tersebut. Kedua, buah berumah tangga yang antara lain menuntut fasilitas perawatan yaitu satu dan atau lebih seorang anak, mesti didampingi etika pribadi yang paling dekat dengan mereka yaitu ibu kandungnya. Ketiga, wakil keluarga yang paling sesuai dan pantas bagi aktivitas interaksi, dalam kondisi tanpa ikatan yang ketat, sehingga dapat mendukung suasana kekeluargaan yang semarak, karena dilakukannya di rumah tinggal sebagai tempat yang representatif.
Melihat posisi-posisi sebagaimana telah disebutkan di awal, demikian besar sumbangan yang kelak diberikan oleh muslimah selaku seorang istri, andaikata ia lebih banyak waktu dan perhatian kerumahtanggaan dalam pengertian fisik ialah rumah tinggal. Sehingga suasana keluarga akan senantiasa hidup, dinamis, dan hangat. Jadi, akan sangat janggal, jika kehidupan rumahtangga atau keluarga yang tidak memiliki istri dengan mempunyai banyak perhatian terhadap urusan-urusan yang tumbuh di dalamnya.
Apabila seorang muslimah atau muslim telah melakukan pernikahan dan berumah tangga, maka ia sebenarnya bukan saja memenuhi kebutuhan normal yang dimiliki. Juga telah melaksanakan hal-hal yang secara tidak langsung mengokohkan eksistensi ummat. Sebab, ia telah mampu menghindari sebagian ekses dari kehidupan tanpa menikah dan berumah tangga. Akibat dari seorang muslim terutama muslimah, yang menjadi pilar rumah tangga, ia telah mempersempit peluang tumbuhnya kemaksiatan dan pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah SWT. Apabila terjadi perzinaan misalnya, maka sendi-sendi kemasyarakatan akan luruh dan bangunan ummat Islam akan menjadi porak poranda.
Apabila muslimah telah mengikhlaskan diri menjadi seorang istri, dan kemudian menjadi ibu dari anak-anak kandungnya. Sebenarnya ia telah menciptakan struktur dan konstruksi ummat Islam yang kian kokoh, dengan paling tidak menambatkan pengikat dengan tali yang sangat kuat dan suci serta menggandakan jumlah unsur individu dalam ruang cakupan ummat Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa secara langsung Allah SWT memberikan sikap memuliaan ini kepada muslimah, dengan menyatukan dimensi kekuasaan dan kesucian. Suatu hal yang sangat luar biasa dan tidak ada tolok ukur sebagai bandingannya. Tidak mungkin ditemukan pada konsep kehidupan atau ajaran keagamaan tertentu, selain hanya pada agama Islam sebagai agama satu-satunya di sisi Allah SWT dan yang diridlai-Nya. Hal ini diharapkan dapat menjadi pemicu kesadaran dan perangsang peningkatan aktivitas, yang ditujukan sebagai ungkapan rasa terimakasih dan pemeliharaan diri seorang muslimah. Baik bagi kepentingan dirinya sendiri, suami, keluarga inti, keluarga besar, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.
Paling tidak ada tiga cara kitab suci mengungkapkan perihal muslimah, dengan memanfaatkannya dalam istilah untuk sebutan surat, judul dari surat dan penyebutan nama dari muslimah. Pertama, penggunaan sebutan ibu atau ummu (meneguhkan status bagi muslimah), bagi surat yang merupakan inti dari kitab suci yaitu surat al-Fatihah: disebutkan sebagai Ummul Kitab. Mengisyaratkan bahwa muslimah sebagai ibu akan merupakan inti atau pokok atau sumber dalam pelbagai posisi. Kedua, sebutan sebagai status dari jenis kelamin wanita, yaitu an-Nisaa dalam sebuah judul surat yang berisikan perihal kehidupan pernikahan, keluarga, masyarakat dan negara. Merupakan suatu isyarat, bahwa selaku makhluk Allah SWT yang berjenis kelamin, muslimah memegang peranan penting dalam kehidupan pernikahan hingga ke masalah kenegaraan. Ketiga, memakai nama seorang muslimah, yakni Maryam, baik untuk sebuah judul surat maupun sosok pribadi teladan. Menggambarkan bahwa selain tuntutan Islam kepada muslimah adalah benar, juga telah menunjukkan bukti sebagai katalisator dan perbandingan. Keempat, diterapkan perihal muslimah dalam suatu kondisi, ialah Mumthahanah, artinya adalah wanita-wanita yang diuji, dalam sebuah surat pada al-Qur’an. Menunjukkan kepada kehidupan, bahwa selaku muslimah ternyata mengundang resiko, tetapi mereka mampu menghadapinya secara baik dan kemudian tampil sebagai sosok-sosok pribadi yang cocok dengan sebutan bagi dirinya.
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan petunjuk bagi ummat manusia, tentunya menjadi tolok ukur bagi segenap aspek yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Satu di antara sejumlah cakupan pembahasan di dalam al-Qur’an, yaitu aspek sejarah yang melingkupi masa lalu, masa kini dan masa depan. Memberikan perhatian khusus kepada muslimah. Sejarah sebagai bagian dari kandungan al-Qur’an, antara lain berisikan beragam kisah perjalanan kehidupan ummat manusia. Beberapa di antaranya adalah kisah-kisah tentang muslimah, dengan karakter yang berlainan antara satu muslimah terhadap lainnya. Hidup berdasarkan zaman, tempat dan tokoh manusia yang berperan sangat besar pada saat itu.
Andaikata ada yang menganggap beberapa ketentuan dari Allah SWT dan Rasul-Nya adalah satu atau lebih permasalahan, maka hal itu karena ketidaktahuan dan rasa pengingkaran belaka. Marilah disimak secara seksama, hal-hal yang sementara ini oleh sebagian ummat Islam dan pandangan orang-orang yang tidak menyukai agama Islam, sebagai kekeliruan mereka sehingga tampak sebagai bentuk-bentuk keburukan di dalam Islam.
Sebagai makhluk yang sangat berbeda dari muslim secara khusus dan kaum lelaki pada umumnya, muslimah dengan konsekuensi logisnya harus berpenampilan secara khas. Hijab yang secara sepintas memberikan pembatasan bagi para muslimah, pada prinsipnya adalah untuk membantu menampilkan lebih tegas tentang citra dan nilai yang dipunyai. Pertama, menciptakan ketegasan kedudukan, dengan memberikan pelbagai aturan yang jelas, tegas, dan tetap. Kedua, memelihara nilai-nilai kesucian yang tinggi, dikarenakan mempunyai fungsi dan peranan yang memberikan andil besar bagi kehidupan di dunia. Ketiga, lambang dari suatu karakter yang harus demikian dilindungi, agar tidak ternodai oleh hal-hal di luar hak-hak istimewa bagi perwujudan sistem tata nilai luhur. Keempat, merupakan identitas yang khas, sehingga dengan mudah dikenali.
Oleh sebab itu sangat tidak beralasan, andaikata hijab yang pada dasarnya menjadikan muslimah berada pada posisi dan tuntutan perilaku terbatas, harus ditolak karena seolah-olah tidak memberikan peluang terhadap pencapaian hasrat kewanitaan, akibat adanya perbedaan yang terjadi dengan lelaki dan persaingan antar sesamanya. Justru dengan hijab, muslimah diberikan status yang sangat bernilai tinggi, hingga harus dipelihara secara benar.
Lebih jauh maksud dari hijab sesuai dengan artinya adalah pembatas atau pelindung, memberikan perlindungan kepada muslimah dari pelbagai segi, yang antara lain adalah: Pertama, pencegahan pelecehan dan eksploitasi terhadap nilai-nilai kewanitaan yang dimiliki oleh muslimah. Akibat dari pada pengumbaran nafsu dari orang-orang yang memang senantiasa melihat, bahwa apa saja yang dimiliki oleh wanita dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang rendah dan hina. Kedua, perwujudan cinta dan kasih sayang dari muslimah terhadap suami dan keturunannya.
Setiap manusia dan bahkan mungkin makhluk hidup lainnya, mempunyai suatu cara tertentu yang menunjukkan kemampuan untuk memberikan pengorbanan. Pada muslimah, pengorbanan paling tinggi yang dapat dilakukan adalah mampu memberikan milik pribadinya bagi seseorang yang dicintainya dengan imbalan yang sama. Betapa tidak, poligami yang merupakan pernikahan antara seorang muslim dengan lebih dari satu istri, tetapi tidak dapat lebih hingga empat orang, menjadikan muslimah berstatus sebagai istri yang dimadu atau menjadi madu, adalah puncak perwujudan dari pengorbanan yang lahir dari tingkat pengabdian tak berhingga. Sungguh suatu yang amat laur biasa! Sedangkan puncak pengorbanan dari lelaki muslim, selain ia siap mengorbankan harta dan nyawa di medan jihad fisabilillah. Biasanya ia dituntut untuk membela kepentingan keluarga dan ummatnya.
Poligami, sisi lain, merupakan suatu cara pembelaan terhadap sesamanya, agar saudara-saudara wanita seimannya mempunyai kesempatan mengecap keindahan hidup seperti dirinya. Bukankah ini sesuatu yang sangat agung, indah, dan suci bagi muslimah terhadap sesamanya?
Andaikata ada yang menuduh, bahwa poligami adalah ungkapan ketidakpuasan atau ketidaksempurnaan seorang muslim, dalam masalah penyaluran syahwat dan kebutuhan biologisnya. Maka hendaknya dikaji, dianalisis dan disusun fakta tentang peratus aktiviti yang dimaksud dengan kegiatan-kegiatan lainnya, dikaitkan dengan peluang dan kemampuan yang ada.
Penekanan kepada muslimah untuk sebaiknya banyak berada di dalam rumah tinggal, yang dimaksudkan sebagai ungkapan untuk senantiasa bersatu dengan kehidupan rumah tangga, ditinjau dari beberapa sisi menurut penilaian fihak-fihak tertentu, adalah sesuatu hal yang menimbulkan banyak kerugian.
Banyak orang menilai bahwa tuntutan seperti itu sama dengan memenjarakan kaum muslimah, dan menghancurkan kemampuan yang dimiliki untuk berkiprah di luar ruang lingkup rumah tinggalnya. Untuk apa, misalnya diperkenankan menuntut ilmu pengetahuan hingga memiliki keahlian dalam bidang-bidang tertentu, tetapi kemudian hanya sebagai suatu pajangan atau perhiasan, tanpa diberi kesempatan untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Anggapan semacam ini hendaknya mengacu kepada beberapa pemikiran, yang merupakan pertimbangan logis, kenapa muslimah sebaiknya lebih banyak berada di rumah tinggal guna mengurusi kehidupan berumah tangga. Pertama, muslimah telah diberikan amanah yang cukup besar dan berat, mulai dari memelihara harta benda yang dimilki dengan suaminya, menjaga kehormatan diri sendiri selaku istri, mengandung dan mengasuh anak, hingga menjadi lambang eksistensi rumahtangganya dalam dimensi dunia yang khas. Kedua, di dalam rumah tangganya, muslimah mendampingi makhluk-makhluk calon generasi masa depan, mereka harus senantiasa dibantu untuk dapat tegak dan tegar memperjuangkan kehidupan mereka kelak. Ketiga, akan banyak aktivitas yang tidak banyak dilakukan selain dalam rumah tinggal, sebagai konsekuensi logis bagi terbentuknya hidup berumah tangga, hal itu hanya dapat dilayani oleh seorang muslimah karena memiliki peluang yang besar. Keempat, pelbagai kemapuan yang dimiliki, tidak berarti akan menjadi sia-sia karena berada di rumah tinggal dalam mengurus rumah tangga, paling tidak muslimah adalah guru awal bagi anak-anaknya (madrosaltul ‘ulaa). Kelima, apabila kondisi dan situasi memang memungkinkan atau terpaksa harus memiliki aktivitas di luar rumah, sebagai suatu cara meniti dan menggeluti karier, hendaknya tidak membuat rumahtangga dan rumah tinggal menjadi terbengkalai, dengan tetap berpegang kuat terhadap kodrat, kewajiban, dan tata norma untuk muslimah.
Masalah kepemimpinan sering menjadi sorotan dan mengundang perdebatan panjang bagi muslimah untuk dapat meraih dan melakukannya. Hal ini sesungguhnya bukanlah masalah dan tidak perlu senantiasa dipersoalkan, sebab banyak hal yang dapat dipergunakan sebagai pendekatan agar tercipta pengertian yang dalam, dan kemudian dapat diaplikasikan kepada kehidupan sehari-hari.
Sebenarnya muslimah adalah seorang pemimpin, apakah bagi dirinya sendiri atau anak-anaknya. Ia pun pemimpin pula bagi saudara-saudaranya yang seiman, baik itu muslim maupun muslimah sesamanya. Pada hakekatnya, kepemimpinan bukan hanya didasarkan kepada struktur atau pola susunan tertentu. Kepemimpinan tumbuh dan terus berlangsung dari pada keteladan yang ditampilkan.
Andaikata boleh diistilahkan, kaum muslim adalah pemimpin yang bersifat tampak keluar, sementara muslimah bersifat ke dalam dan terbatas. Tetapi tidak menutupi kemungkinan, bahwa muslimah dapat tampil sebagai pemimpin dengan secara ke luar dan terbuka, apabila memang situasi dan kondisi menginginkan untuk hal tersebut. Di dalam struktur kepemimpinan di negara yang berdasarkan ajaran Islam, paling tidak ada tiga kekuatan yang berfungsi pemimpin dengan karakteristik hierkahi tersendiri. Yaitu, mahkamah ulama atau dewan ahli syari’ah, majlis syuro atau majlis musyawarah ummat, dan kepala pemerintahan dengan para menterinya.
Kepala pemerintahan dengan para menteri dipilih langsung oleh ummat, begitu pula anggota majelis musyawarah ummat, dan mahkamah ulama. Hanya saja, ketiga organ kepemimpinan tersebut memiliki tugas masing-masing. Kepala pemerintahan dengan para meteri menjalankan program-program yang disusun dan ditetapkan oleh majelis musyawarah ummat, hasil dari masukkan pelbagai sumber. Maka mahkamah ulama merupakan pengontrol perilaku keduanya. Untuk kondisi yang semacam ini, muslimah berhak menjadi kepala pemerintahan. Karena berstatus selaku perpanjangan tangan dan langkah belaka, mirip selaku lambang bagi pemerintahan.
Hanya saja perlu diingat dan diperhatikan secara seksama, kenapa muslimah “dibatasi” dalam masalah kepemimpinan, antara lain didasari oleh beberapa alasan sebagai berikut. Pertama, karakteristik muslimah yang lembut dan halus, lebih cocok untuk melakukan aktivitas yang bersifat membentuk dan memperkokoh, sementara kepemimpinan lebih cenderung ke menata dan mengarahkan. Kedua, muslimah dibatasi oleh hal-hal yang terkadang dapat menciptakan bumerang bagi dirinya sendiri, padahal dalam kepemimpinan dituntut kesiapan dan kondisi prima setiap saat, apabila tidak demikian maka akan menjadi pembalikan dari pada fungsi dan peranan. Ketiga, telah diberikan ruang garap tersendiri bagi muslimah, didasarkan kepada kodrat dan karakter yang dimiliki, sehingga andaikata hal ini ditinggalkan akan menjadi luluh lantah, sementara yang ditekuni tidak tercapai sampai ke tujuan. Keempat, muslimah tidak akan menjadi tanpa arti kehilangan makna, andaikata ia tidak tampil sebagai pemimpin. Sebab Allah SWT telah menetapkan peluang-peluang untuk mencapai tingkat prestasi puncak, didasarkan kepada aspek-aspek yang antara lain karena jenis kelamin dan eksistensi yang dimiliki.
Hukum merupakan perangkat untuk mengetahui bobot dan kualiti keyakinan, sekaligus adalah suatu cara mengatur tata kehidupan agar menapaki jalur tertentu sebagai konsekuensi logis. Sedangkan keyakinan merupakan dasar yang kokoh bagi terlaksananya hukum-hukum, dan sebagai kekuatan dalam menghadapi konsekuensi logis akibat pelaksanaan hukum-hukum tersebut.
Keyakinan dan hukum akan saling menunjang, senantiasa dibutuhkan guna membuktikan kebenaran dari sesuatu yang dipilih dan dipeluk, bahkan dapat menumbuhkan sikap pembelaan puncak bagi kelangsungan hidup nilai-nilai yag dikandungnya. Di antara keyakinan dan hukum, muslimah mempunyai banyak posisi yang berbeda dengan muslim. Mengakibatkan penafsiran-penafsiran yang melenceng, oleh pelbagai fihak tertentu dengan sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya. Muslimah dalam kedudukan selaku saksi, di dalam Islam nilainya adalah setengah dari muslim; seorang muslim sebanding dengan 2 orang muslimah. Sepintas hal ini melahirkan penilaian, bahwa Islam mendudukkan muslim dalam suatu posisi tidak sempurna. Padahal bukan itu maksud dari penetapan pola persaksian tersebut di dalam agama Islam.
Harus diakui secara jujur, kendati muslimah telah diberikan banyak kemuliaan oleh Allah SWT, tidak menjadikan sebagian dari kaum muslim menghayati benar tentang karunia yang diterima oleh muslimah. Masih banyak sikap dan pandangan yang senantiasa mengacu kepada aspek fisik-jasmaniah, yang tampaknya memang begitu lemah dan demikian terbatas. Sementara itu, andaikata dikaji dengan cermat, apabila seseorang diamanati sebagai saksi, ia mempunyai peluang menanggung resiko sangat berat. Kemungkinan untuk dianiaya, bahkan berpeluang untuk dibunuh pun adalah sangat besar kemungkinannya.
Seseorang yang dijadikan sebagai saksi, guna memperkuat suatu aktivitas tertentu yang memiliki maksud, tujuan, dan sasaran secara umum adalah keadilan dan kebenaran. Adalah bulan pekerjaan mudah dan disukai banyak orang, padahal sangat penting dan mutlak. Jadi amat wajar, apabila ada seorang muslimah berkenan menjadi saksi, ia pun harus pula melibatkan minimal seorang muslimah dalam pelaksanaannya.
Lebih jauh lagi, perihal muslimah yang dijadikan saksi harus berjumlah dua kali lipat dari muslim. Dengan tugas dan wewenang yang sama, dimaksudkan sebagai. Pertama, cara agar muslimah tidak dilecehkan oleh pihak-pihak tertentu, karena dilihat mempunyai kelemahan. Maka dengan jumlah yang lebih banyak, akan memungkinkan terhindarkan dari upaya-upaya pengingkaran. Kedua, muslimah merupakan sosok pribadi yang selalu bersifat ingin mempunyai teman atau pendukung. Sehingga dalam menunaikan tugas suci sebagai saksi pun diberikan kesempatan untuk tetap mewujudkan instink fitrahnya tersebut.
Hampair sama dengan masalah persaksian, dalam masalah hak warits pun muslimah hanya memperoleh setengah dari bagian muslim. Menurut pemikiran sebagai manusia, hal ini adalah sesuatu yang tidak adil, kenapa muslimah yang katanya mempunyai tugas demikian mulia dan memberikan sumbangan besar bagi kehidupan, tidak memiliki hak yang sama dalam masalah warits. Untuk meninjau hal ini, sebaiknya kita mulai dari tentang kewajiban antara muslim dan muslimah dalam masalah harta benda. Ternyata kewajiban pokok dan elementer ditekankan kepada para muslim atau lelaki Islam.
Berikutnya adalah dilihat dari segi pendayagunaan, bahawa muslimah ternyata mempunyai kewajiban untuk merawat dan memanfaatkan harta benda milik suamimya, hasil dari usaha-usaha yang telah dilakukan melalui cucuran keringat dan tingkat pengetahuan tersendiri. Dengan demikian sebenarnya pembagian warits itu, lebih cenderung sebagai formalitas belaka. Karena kelak akan dititipkan atau diberikan kepada muslimah pula. Dapat juga dikarenakan sebagai cara untuk medidik para muslim, agar ia dapat benar-benar memanfaatkan amanah yang diterima, guna kepentingan-kepentingan yang sejalan dengan ajaran Islam. Sebab ia lebih banyak menerima harta benda selaku warits, yang sesungguhnya pula adalah sebuah pengorbanan dari pada muslimah.
Lebih jauh dengan penetuan hak warits sebagaimana yang telah diberlakukan, ternyata menekankan kepada aspek-aspek sebagai berikut di bawah ini. Pertama, mengajarkan, menegaskan, dan memperlihatkan bahwa muslimah itu tidak haus harta benda, karena selain kecenderungan yang ada, juga tuduhan yang diarahkan kepada muslimah dengan menempatkan ke dalam posisi sebagai lambang dari ketamakan pemilikan harta benda. Kedua, mengangkat citra muslim yang memang mempunyai kewajiban utama selaku pencari nafkah, dengan memberikan formalitas bahwa ia diberi kepercayaan untuk menerima dan mengelola harta benda yang dimiliki. Ketiga, masih diberikan peluang yang besar dan luas, bagi muslimah untuk menerima jumlah warits yang lebih besar, karena tidak ada penekanan atau perintah, yang melarang muslim untuk kemudian meyerahkan harta warits yang diterimanya kepada muslimah. Keempat, terciptanya peluang untuk mewujudkan suatu amal sholeh bagi muslim, yang memang cenderung memberi kepada muslimah, sehingga terciptanya pola komunikasi yang kian hangat dan hakiki.
Sisi lain yang senantiasa memperoleh sorotan tajam, yaitu terkait masalah perceraian. Muslimah tidak diberi kedudukan yang sama dengan muslim. Sehingga andaikata ada hal-hal yang memungkinkan perceraian adalah jalan terbaik, tidak dapat dilakukan karena hak menjatuhkan talaq atau cerai lebih besar ada pada pihak suami. Untuk itu hal-hal yang melatarbelakangi, kenapa muslimah dipersulit untuk melakukan perceraian, adalah sebagai berikut. Pertama, perceraian lebih banyak mendatangkan kerugian dan problema bagi pihak muslimah, akhirnya memungkinkan terjadinya suatu dugaan yang menganggap, bahwa lelaki oleh Islam diberi kekuasaan untuk melecehkan dan menyudutkan posisi muslimah ke sisi yang paling tidak dihambat secara ketat. Kedua, mendatangkan penilaian tentang ketidakmampuan muslimah dalam menghadapi gelombang cobaan sebagai konsekuensi logis dari ikatan pernikahan. Sehingga citra muslimah menjadi sangat rendah, cenderung lemah, sebab andaikata dikaji lebih jauh, sebenarnya tuntutan perceraian tidak mungkin lahir dari keutuhan melaksanakan syari’ah.
Begitu berat resiko yang ditimbulkan dari perceraian, sementara kecenderungan muslimah terhadap perbuatan tersebut sangat mungkin terjadi. Menuntut diciptakan suatu pagar-pagar pembatas yang rapat dan kokoh, sehingga tidak ada lagi celah dan kelemahan atau kerapuhan, yang membuat mudah perceraian itu dilakukan.
Lebih jauh lagi, dampak negatif dari pada perceraian yang dapat dirasakan adalah: Pertama, memporakporandakan struktur dan pola komunikasi antara suami dan istri, anak dan orang tua, mertua dan menantu, karib kerabat dan saudara, serta seriap aspek yang berkaitan dengan usnur-unsur tersebut. Kedua, menciptakan peluang bagi perwujudan sakit hati dan dendam kesumat, sehingga menghilangkan ketenangan dan keharmonisan dalam kehidupan. Ketiga, malahirkan sebuah pola persaingan tidak wajar bagi pihak yang telah bercerai dalam memperoleh penggantinya sebagai istri atau suami yang baru. Keempat, ada kemungkinan dikarenakan kehampaan kesadaran dan hilangnya akal pikiran sehat, terjadinya pelampiasan-pelampiasan yang berorientasi kepada seks tanpa pernikahan atau perzinaan, yang memberikan ancaman bagi tata nilai kemasyarakatan dan penyakit sosial yang sangat mengerikan.
Pengertian mentuhankan di sini adalah secara metaforis, yang maksudnya adalah bahwa suami bagi seorang muslimah adalah lambang Allah SWT dalam bentuk manusia. Di sini muslimah sebagai istri dari seorang lelaki yang menjadi suaminya, dituntut untuk mentaati tanpa reserve terhadap suaminya itu. Kondisi ini memberikan peluang terhadap penilaian yang salah, seolah-olah menjadi muslimah itu berarti sama dengan sebagai seorang budak dari suaminya.
Sehingga hak-hak asasi sebagai wanita merdeka menjadi terpasung, dan sepenuhnya ditentukan bagaimana sikap perilaku suaminya. Menjawab penilaian semacam ini, hendaknya terlebih dahulu melihat sosok siapakah muslimah yang berstatus sebagai suami, dan apa yang harus dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya di dalam ajaran Islam.
Muslim adalah seorang lelaki yang dirinya telah dengan secara tulus ikhlas menerima dan akan mengamalkan ajaran Islam dengan utuh. Sebagai seorang muslim, andaikata menikah dengan seorang muslimah, maka kedudukannya sebagai seorang suami mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, yang antara lain sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan hak-hak muslimah, yaitu menjadi pemimpin, pelindung, dan pemenuh pelbagai kebutuhan istri. Kesemuanya itu dapat terwujud dengan baik, karena dipengaruhi oleh suatu karakteristik yang disebutkan akhlaqul karimah; sistem sikap perilaku penuh dengan kesucian dan keluhuran. Sehingga wajarlah andaikata kemudian, muslimah dituntut untuk mentaati suaminya dengan sepenuhnya. Merupakan imbal balik dari pada apa saja yang telah diterima dari suaminya, yang tentunya dinikahi bukan karena aspek-aspek yang bersifat pemaksaan atau pelampiasan belaka. Melainkan didasarkan keyakinan dan keikhlasan, bahwa ia akan menemukan dan menikmati kehidupan yang sangat membahagiakan.
Selanjutnya hendaklah dipahami dengan seksama, bahwa apabila seorang muslim dan muslimah telah sepakat untuk hidup bersama sebagai suami istri, diperlukan pembagian tugas yang tuntas dan menyentuh setiap aspek kehidupan berumah tangga. Cara yang paling tepat adalah, suami hendaknya diberi wewenang untuk memiliki otoritas tertinggi; istri mentaati sepenuhnya secara konsisten. Tentunya, selama selama suami pun mentaati segala ketentuan yang terdapat pada syari’ah, senantiasa tidak menyeleweng dari hukum-hukum Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Doktrin lain terhadap wanita atau muslimah, yaitu ditekankan agar memperoleh keturunan, sehingga akan mempunyai banyak anak. Secara sepintas hal ini merupakan beban yang sangat memberatkan bagi muslimah. Sebagaimana diketahui, risiko mengandung dan melahirkan bagi seorang muslimah memungkinkan sebuah penderitaan yang luar biasa.
Belum lagi resiko yang demikian berat, di dalam upaya menghidupi dan memenuhi kebutuhan sandang dan pangan, mendidik dengan proses yang panjang dan lama, membantu mencarikan jodoh dan menikahkan pada batas usia tertentu, hingga kemungkinan turut serta terlibat dalam kehidupan rumahtangga anak-anaknya. Dalam menjelaskan persoalan ini, terlebih dahulu hendaknya dilihat hubungan muslimah selaku seorang wanita dan sebagai seorang ibu kandung. Selaku seorang wanita, setiap muslimah secara fitrah menunjukkan bahwa dirinya adalah wanita sempurna yakni dengan melalui mengandung, melahirkan, dan mempunyai anak. Sangat sulit dipisahkan kedudukan seorang wanita dengan anak. Sedangkan sebagai seorang ibu kandung, muslimah secara umum akan merasa bangga dengan jumlah anak yang banyak, karena anak-anak adalah buah hati, mutiara jiwa, belahan hidup, dan sejumlah sebutan lain yang senada.
Anggapan tentang “ketidakadilan Islam” terhadap muslimah menurut penilaian pihak-pihak tertentu menjadi bertambah, dengan adanya larangan untuk mengimami sholat berjamaah yang didapatkan lelaki dewasa dan menyerukan ajakan sholat yang disebutkan dengan adzan. Secara sepintas, ajaran Islam tentang hal ini menunjukkan perihal kedudukan muslimah yang dinomor duakan.
Terkait masalah muslimah dilarang menjadi imam dalam sholat berjamah yang ada lelaki dewasa, hendaknya kita melihat tentang posisi sholat berjamaah. Seorang imam dari lelaki dewasa yang memenuhi persyaratan berada paling depan, kemudian di belakangnya shaf-shaf sholat berjamaah yang terdiri atas lelaki dewasa, remaja, dan kemudian anak-anak. Dengan rentangan jarak tertentu, kemudian shaf-shaf muslimah yang dimulai dari anak-anak, remaja, kemudian yang telah dewasa. Posisi yang demikian dalam sholat berjamaah semacam ini, memberikan kedudukan kepada muslimah dewasa berada paling belakang; merupakan suatu kondisi dapat melihat dan mengawasi perilaku setiap yang terlihat dalam aktivitas sholat berjamaah.
Jadi dapatlah dipahami, bahwa tidak diperbolehkannya muslimah menjadi imam sholat berjamaah yang sebagiannya adalah lelaki dewasa, dimaksudkan agar muslimah sebagai kekuatan garis belakang dapat mengawasi dan menilai tentang dan melihat tentang karakter setiap pribadi muslim, mulai dari imam, anggota jamaah lelaki dewasa, remaja, anak-anak, begitu pula muslimah anak-anak dan remaja. Dari posisi ini menunjukkan, betapa besar peranan yang diberikan kepada muslimah; sejalan dengan sebutan tiang masyarakat atau negara. Dengan demikian pula dapatlah diambil suatu perbandingan, bahwa kedudukan muslimah yang sebagaimana telah ditetapkan, mempunyai tingkatan yang sama dengan imam.
Apabila imam sholat berjamaah dari muslim dewasa berada di depan memimpin anggota jamaah, melalui penampilan dan gerakan yang harus diikuti. Maka muslimah dewasa berada pada shaf-shaf paling belakang, guna mengawasi dan menilai anggota jamaah, sekaligus pula sebagai yang dapat memberitahu andaikata terjadi kekeliruan atau penyimpangan.
Sedangkan di dalam pelaksanaan pemberitahuan untuk melakukan sholat atau adzan, dikarenakan tempat yang lebih baik didalam melakukan sholat bagi setiap muslimah adalah di rumah. Tampaknya agar tidak merepotkan kaum muslimah dengan penambahan aktivitas di luar rumah, padahal kegiatan-kegiatan di dalam rumah secara pasti telah begitu banyak menyita waktu. Di sisi lain adalah memperkecil peluang bagi pihak-pihak lain, yang mempunyai kecenderungan atau kebiasaan buruk terhadap wanita, untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan fitnah dan bencana.